Senin, 26 Juli 2010

Resep Aceh untuk Papua: Mungkinkah?

Ketika awal Juli lalu sekelompok orang Papua berdemonstrasi di beberapa kota dengan tujuan mengembalikan UU Otonomi Khusus Papua ke pemerintah pusat di Jakarta, orang segera teringat kejadian serupa lima tahun silam.

Tahun 2005 memang sudah pernah berlangsung demonstrasi serupa dengan peserta lebih banyak lagi, sekitar 10 ribu orang. Tapi tidak juga berlangsung dialog antara Jakarta d

engan Papua. Lalu bagaimana menangani masalah Papua? Bagaimana kalau menerapkan resep Aceh untuk Papua? SOURCE

Dengarkan/unduh saja laporan ini dengan mengklik ujung tanda panah berikut: http://content1a.omroep.nl/d9a7627d8b2c88caead64e900faa7e75/4c4e4886/rnw/smac/cms/id_resep_aceh_untuk_papua_20100726_44_1kHz.mp3

Pada protes awal Juli lalu, selain mengembalikan otonomi khusus Papua, sekelompok orang Papua ini turun ke jalan juga menuntut supaya dilakukan referendum bagi masa depan Papua. Apakah masih ikut NKRI seperti Aceh, atau cabut saja seperti Timor Leste. Benarkah itu yang diinginkan Papua? Menurut Muridan Widjojo, pakar Papua pada LIPI, orang Papua tahu bahwa Jakarta tidak akan memberi izin referendum.

Kekecewaan dan frustrasi

"Tahun 2010 ini yang menolak tidak hanya unsur masyarakat sipil non pemerintah, tapi juga lembaga negara seperti Majelis Rakyat Papua," demikian Muridan. MRP akhirnya memang menyalurkan suara masyarakat yang menolak otsus. Bahkan lembaga ini semakin terbuka menuntut referendum. Sebetulnya ini ekspresi kekecewaan, frustrasi yang semakin besar, lanjut Muridan. Sehingga referendum itu sebagai suatu aspirasi, sebetulnya merupakan tuntutan tertinggi yang bisa mereka lakukan. Meskipun mereka tahu Jakarta tidak akan memberi referendum. Minimal kalau diminta referendum, mereka akan menerima yang lebih rendah sedikit dari referendum, dengan harapan ada dialog antara Jakarta dengan Papua.

Rakyat Papua kecewa dengan Otonomi Khusus karena hal yang paling prinsip dan menjadi spirit UU ini tidak dihargai. Pertama, demikian Muridan Widjojo menjelaskan, pemekaran Irjabar tahun 2003 telah melangkahi MRP pasal 76. Kemudian pembentukan Majelis Rakyat Papua juga dicurigai, sampai baru terbentuk tahun 2005. Itu juga membuat pelaksanaan otonomi khusus terganggu sekali.

Ketiga, yang menjadi spirit otsus sendiri adalah simbol-simbol kepapuaan itu harus diharga dan dihormati, ternyata malah dilarang oleh PP 77/2007. Dan seluruh kebijakan Jakarta itu justru cenderung menghalangi implementasi otsus secara konsisten, sehingga mereka tidak melihat hal-hal yang menjadi isyu mendasar konflik Jakarta Papua itu ditangani di bawah UU Otsus. Jadi pada dasarnya UU Otsus hanya berikisar padsa soal anggaran trilyunan dan kemudian pemekaran. Sehingga orang tidak melihat sesuatu yang signifikan secara politik. Oleh karena itu orang melihat otsus gagal.

Curiga otsus
Kalau bagi Papua otonomi khusus itu sudah gagal, Jakarta sendiri sebenarnya juga tidak terlalu getol dengan UU ini. Operator politik Jakarta, kebanyakan di Kementerian Polhukam dan Kementerian Dalam Negeri, sejak awal sudah curiga terhadap UU ini. Mereka khawatir otonomi khusus akan memberi peluang kepada Organisasi Papua Merdeka, OPM. Di sini Muridan melihat bahwa aparat pemerintah pusat tidak ingin membuat UU Otsus Papua betul-betul jalan. Kalau Papua tidak suka otonomi khusus, dan Jakarta pun juga demikian, maka mengapa tidak dilangsungkan dialog antara keduanya?

Muridan Widjojo meringkas, ada kalangan Papua yang minta referendum, dan ada juga yang minta revisi otsus. "Ini kelompok moderat yang bilang ya sudah kalau begitu Otsus perlu direvisi kembali," jelas Muridan. Pertanyaannya adalah, siapa yang berhak merevisinya? Ini harus melalui dialog antara Jakarta dan Papua. Jadi akar masalah dibicarakan. Harus ada kesepakatan antara pemimpin Papua yang pro-kemerdekaan dan juga wakil dari Jakarta untuk duduk, kemudian menetapkan sebetulnya akar masalahnya apa, dan bagaimana menyelesaikannya. Sehingga diakui masalahnya.

Sekarang menurut Jakarta masalah Papua adalah kesejahteraan. Sedangkan orang Papua menyangkalnya. Bagi mereka masalahnya adalah sejarah kekerasan negara dan marginalisasi. Jadi, sebetulnya dialog itu baru bisa dilaksanakan kalau presiden menunjuk seseorang yang dipercaya untuk kemudian memulai proses-proses pembicaraan dengan pemimpin Papua. Kalau diharapkan proses normal yang seperti sekarang, pasti tidak akan terjadi apa-apa. Jakarta tidak punya rancangan apapun untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh. Mereka hanya mencoba mempertahankan status quo yang ada saja, dan bagi mereka otsus juga sudah final.

Lain Papua lain Aceh
Sebenarnya sudah ada pola yang bisa dipakai Jakarta untuk juga memberesi masalah Papua, itulah model Aceh. Apa halangan penerapan pola Aceh di Papua? Muridan Widjojo menyangkal pola penyelesaian Aceh bisa diterapkan di Papua. Di Aceh Jakarta bisa langsung bicara dengan Hasan di Tiro. Tapi Papua tidak punya seorang Hasan di Tiro. Dengan begitu cara kerja di Papua lain dengan di Aceh. Untuk Papua dibutuhkan konsultasi publik, para pemimpin setempat juga didekati. Faksi-faksi harus dipersatukan dan didahului dengan dialog internal di kalangan faksi-faksi Papua. Dari situ diharapkan bisa dihasilkan satu rujukan yang berarti pijakan sama tentang agenda politik, tentang apa yang harus dibicarakan.

Inipun harus dibuat secara tertutup, demikian tegas Muridan. Dengan begitu ketika presiden menunjuk seseorang dan siap untuk bicara dengan rakyat pimpinan rakyat Papua, maka orang Papua tahu betul siapa yang akan mewakili dan agenda apa yang akan dibawa. Itulah yang harus dipersiapkan terlebih dahulu, dan itu tidak ada di Papua. Aceh lebih siap, kepemimpinannya sudah siap. Aceh punya struktur kepemimpinan. Pimpinan bilang A, semua yang di bawah juga bilang A.

Terus berlanjut
Kalau Papua tidak bisa, demikian Muridan Widjojo. Di atas A, maka harus diskusi dulu apakah di bawah juga bisa A. Harus ada negosiasi dan diskusi yang menurut pakar Papua LIPI ini adalah proses-proses khusus yang membuat proses politik di Papua lebih lamban dan lebih lama. Walau begitu Muridan melihat tetap mungkin resep Aceh diterapkan di Papua. Semangatnya yang harus diambil, demikian Muridan. Tetapi dengan metoda pendekatan dan persiapan-persiapan yang relatif berbeda dan agak rumit.

Sementara itu, masalah Papua diperumit dengan terus berlanjutnya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Selama ini terus terjadi dan selama dialog dengan pusat tidak ada, sulit untuk menemukan titk cerah bagi Papua.

Senin, 05 Juli 2010

Di Balik Unjuk Rasa Referendum

Massa membludak dengan membawa simbol ‘peti mati’ sebagai tanda Otsus yang baru berumur empat tahun saat itu telah dianggap gagal oleh ribuan unjuk rasa. Ibarat luka yang belum sembuh, kini masalah lima tahun silam kembali diperbincangkan lagi setela
Unjuk rasa ribuan massa yang membawa 11 rekomendasi hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP (Majelis Rakyat Papua) yang berlangsung dari tanggal 9-10 Juni 2010 ke kantor DPR Papua, tidak boleh dipandang remeh. Kendati massa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di klaim tidak sebesar jumlah unjuk rasa pengembalian Otsus tanggal 15 Agustus tahun 2005 yang – diperkirakan- mencapai 100 ribu massa.

Oleh : Lamadi de Lamato

Massa membludak dengan membawa simbol ‘peti mati’ sebagai tanda Otsus yang baru berumur empat tahun saat itu telah dianggap gagal oleh ribuan unjuk rasa. Ibarat luka yang belum sembuh, kini masalah lima tahun silam kembali diperbincangkan lagi setelah unjuk rasa dua ribuan massa meminta Otsus dikembalikan dan referendum melalui intervensi asing (PBB) baru-baru ini.

Unjuk rasa empat tahun yang silam dengan sekarang motifnya sama, mereka berharap aspirasinya yang disampaikan ke DPR Papua dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkompeten. Bila aspirasi yang dibawah ke DPR Papua pertama (2005) ‘dibelokan’, maka kita berharap sekarang justru harus disuarakan, apapun konsekwensinya.

Bila kita cermati dengan seksama, anggota legislatif periode kali ini (2009-2014) nampak jauh lebih peka dan bisa melanjutkan apa yang disuarakan publik. Hal itu terlihat dari respon DPR Papua terhadap rekomendasi SK MRP nomor 14 tahun 2009 – yang mensyaratkan calon kepala daerah dalam Pemilukada harus orang asli Papua.

Diluar persoalan SK ini dicurigai lalu di ditolak secara sepihak oleh pusat, tapi sebagian besar dari publik Papua semakin percaya bahwa aspirasinya tidak lagi mudah dibelokan seperti nasib unjuk rasa tahun 2005 silam. Kitapun harus salut dan memberi apreseasi pada para pendemo yang mampu menyalurkan aspirasinya (tuntutan referendum dan mengembalikan otsus diantara 11 rekomendasi Mubes) dengan damai tanpa chaos. Padahal jauh sebelum demo, moral orang asli Papua tengah diaduk-aduk dengan polemik SK MRP nomor 14.

Kalau dihitung-hitung hampir 5 bulan publik berdebat tentang SK tersebut, tapi suasana akumulatif yang diprediksi banyak pihak akan berakhir dengan chaos terhindar dengan ‘cantik’. Semua itu bisa jadi karena ditopang oleh budaya positif Papua (kasih, perdamaian dan penghormatan terhadap perbedaaan yang mengakar kuat). Catatan ini bukan memuji-muji secara berlebihan terhadap akar-akar budaya yang positif sebagaimana yang juga disinggung Francis Fukuyama bahwa budaya adalah faktor penting memahami kemajuan masyarakat – maksud Fukuyama yakni masyarakat dunia yang maju karena dipegaruhi oleh konsistensi budayanya yang kokoh sepanjang zaman. (Francis Fukuyama, Trust ; Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, 1995).

Bila dikaitkan dengan demokrasi, budaya positif yang tergambar dalam demo tanpa kekerasan adalah demokrasi yang harus dihargai bertumbuh tanpa harus dilarang oleh siapapun. Kalaupun ada pihak-pihak yang kontra terhadap unjuk rasa, maka tetaplah kontra dalam koridor yang tepat, tanpa harus menebar teror dan ketakutan melalui berbagai isu ditengah-tengah masyarakat.

Isu bahwa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di skenario oleh oknum-oknum anggota DPR Papua tertentu, sehingga perlu dan harus di PAW (Pergantian Antar Waktu) termasuk kategori menebar teror politik yang tidak populer. Begitupun dengan mendeskredit MRP sebagai pembuat ulah dari ketidak becusan kerja mereka yang memanfaatkan akhir masa tugas jabatan – November 2010 – dalam memprovokasi masyarakat berdemo yang berujung pada tuntutan ekstrim (referendum dan kembalikan Otsus) diatas.

Tanpa kita menunjuk hidung, kita paham bahwa Papua adalah area politisasi yang dikendalikan oleh geng-geng politik. Mereka ini menyebar diberbagai lini memantau Papua sebagai zona politik ala para broker. Kerja para broker tidak jauh dari memperdagangkan isu alias mengail ditengah air keruh.

Unjuk rasa atau polemik apapun tidak akan diselesaikan secara demokratis melalui saluran demokrasi yang tersedia karena kerja para geng lebih dominan dan dipercaya oleh pemerintah pusat. Sebagai contoh, Pansus Pemilukada DPR Papua yang ingin mengkonsultasikan SK MRP dengan Mendagri dan Menkopolhukam di Jakarta dipersulit oleh para geng sehingga pekerjaan yang mestinya bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari tidak tuntas dalam hampir satu bulan karena dipersulit oleh jaringan para geng dan broker politik.( Lihat Artikel ; Sampai Kapan Papua Diping-pong, Lamadi de Lamato, Binpa, 2010).

(*) Direktur La-Keda Institute, Papua. Konsultan Politik Isu-isu Lokal

Kamis, 01 Juli 2010

Islam Beri Perubahan Budaya Muslim Wamena

JAYAPURA—Nilai-nilai ajaran Islam memberi perubahan yang cukup signifikan pada budaya masyarakat Muslim di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.

Hal ini diakui Koordinator Muslim Wamena yang bermukim di Angkasa, Kota Jayapura, H.Robi W.Asso di Jayapura, Selasa menanggapi perkembangan Islam dan umat Muslimin di Wamena.

"Harus diakui bahwa tidak mudah mengubah kondisi sosial kultur masyarakat Wamena yang telah berakar agar sesuai dengan tuntunan Syariat Islam," ujarnya.

Namun demikian lanjutnya, perubahan pola hidup yang sesuai dengan ajaran Islam adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan setiap Muslim. Oleh sebab itu, banyak upaya telah ditempuh untuk merealisasikan hal tersebut.

"Kami mulai dari generasi muda, yakni anak-anak kami asramakan, kami didik dan bina mereka secara pelan-pelan dengan nilai-nilai Islam yang langsung dilakukan dalam hidup keseharian," jelas Robi.

Setelah itu, generasi orang tua pun lambat laun ikut dalam perubahan kehidupan yang tercermin dari tingkah laku dan sikap anak-anak mereka secara Islami.

Dicontohkannya perubahan tersebut tampak pada penghargaan masyarakat Wamena sebagai bagian dari komunitas pegunungan Papua atas kepemilikan babi yang dinilai sangat tinggi. Menurut Robi, nilai babi yang tinggi bagi masyarakat Wamena ditunjukkan dengan kenyataan bahwa jika seorang lelaki tidak memiliki hewan itu, maka dirinya tidak akan pernah bisa menikah. Tapi kondisi itu telah berubah dengan digantinya babi dengan binatang ternak lainnya yang dihalalkan dalam Islam yakni sapi dan kambing. "Di kampung kami, babi kini sudah tidak lagi dipelihara karena masyarakat sudah menggantinya dengan sapi atau kambing," jelas Robi.

Islam masuk pertama kali di Kabupaten Jayawijaya sekitar 1968 hingga 1969 lalu, tepatnya di Kampung Walesi. Kini Islam telah berkembang di 13 kampung di Wamena dan sudah berdiri tujuh masjid serta sejumlah musholla.(ant)selengkapnya...

Template by : kendhin x-template.blogspot.com