Senin, 05 Juli 2010

Di Balik Unjuk Rasa Referendum

Massa membludak dengan membawa simbol ‘peti mati’ sebagai tanda Otsus yang baru berumur empat tahun saat itu telah dianggap gagal oleh ribuan unjuk rasa. Ibarat luka yang belum sembuh, kini masalah lima tahun silam kembali diperbincangkan lagi setela
Unjuk rasa ribuan massa yang membawa 11 rekomendasi hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP (Majelis Rakyat Papua) yang berlangsung dari tanggal 9-10 Juni 2010 ke kantor DPR Papua, tidak boleh dipandang remeh. Kendati massa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di klaim tidak sebesar jumlah unjuk rasa pengembalian Otsus tanggal 15 Agustus tahun 2005 yang – diperkirakan- mencapai 100 ribu massa.

Oleh : Lamadi de Lamato

Massa membludak dengan membawa simbol ‘peti mati’ sebagai tanda Otsus yang baru berumur empat tahun saat itu telah dianggap gagal oleh ribuan unjuk rasa. Ibarat luka yang belum sembuh, kini masalah lima tahun silam kembali diperbincangkan lagi setelah unjuk rasa dua ribuan massa meminta Otsus dikembalikan dan referendum melalui intervensi asing (PBB) baru-baru ini.

Unjuk rasa empat tahun yang silam dengan sekarang motifnya sama, mereka berharap aspirasinya yang disampaikan ke DPR Papua dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkompeten. Bila aspirasi yang dibawah ke DPR Papua pertama (2005) ‘dibelokan’, maka kita berharap sekarang justru harus disuarakan, apapun konsekwensinya.

Bila kita cermati dengan seksama, anggota legislatif periode kali ini (2009-2014) nampak jauh lebih peka dan bisa melanjutkan apa yang disuarakan publik. Hal itu terlihat dari respon DPR Papua terhadap rekomendasi SK MRP nomor 14 tahun 2009 – yang mensyaratkan calon kepala daerah dalam Pemilukada harus orang asli Papua.

Diluar persoalan SK ini dicurigai lalu di ditolak secara sepihak oleh pusat, tapi sebagian besar dari publik Papua semakin percaya bahwa aspirasinya tidak lagi mudah dibelokan seperti nasib unjuk rasa tahun 2005 silam. Kitapun harus salut dan memberi apreseasi pada para pendemo yang mampu menyalurkan aspirasinya (tuntutan referendum dan mengembalikan otsus diantara 11 rekomendasi Mubes) dengan damai tanpa chaos. Padahal jauh sebelum demo, moral orang asli Papua tengah diaduk-aduk dengan polemik SK MRP nomor 14.

Kalau dihitung-hitung hampir 5 bulan publik berdebat tentang SK tersebut, tapi suasana akumulatif yang diprediksi banyak pihak akan berakhir dengan chaos terhindar dengan ‘cantik’. Semua itu bisa jadi karena ditopang oleh budaya positif Papua (kasih, perdamaian dan penghormatan terhadap perbedaaan yang mengakar kuat). Catatan ini bukan memuji-muji secara berlebihan terhadap akar-akar budaya yang positif sebagaimana yang juga disinggung Francis Fukuyama bahwa budaya adalah faktor penting memahami kemajuan masyarakat – maksud Fukuyama yakni masyarakat dunia yang maju karena dipegaruhi oleh konsistensi budayanya yang kokoh sepanjang zaman. (Francis Fukuyama, Trust ; Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, 1995).

Bila dikaitkan dengan demokrasi, budaya positif yang tergambar dalam demo tanpa kekerasan adalah demokrasi yang harus dihargai bertumbuh tanpa harus dilarang oleh siapapun. Kalaupun ada pihak-pihak yang kontra terhadap unjuk rasa, maka tetaplah kontra dalam koridor yang tepat, tanpa harus menebar teror dan ketakutan melalui berbagai isu ditengah-tengah masyarakat.

Isu bahwa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di skenario oleh oknum-oknum anggota DPR Papua tertentu, sehingga perlu dan harus di PAW (Pergantian Antar Waktu) termasuk kategori menebar teror politik yang tidak populer. Begitupun dengan mendeskredit MRP sebagai pembuat ulah dari ketidak becusan kerja mereka yang memanfaatkan akhir masa tugas jabatan – November 2010 – dalam memprovokasi masyarakat berdemo yang berujung pada tuntutan ekstrim (referendum dan kembalikan Otsus) diatas.

Tanpa kita menunjuk hidung, kita paham bahwa Papua adalah area politisasi yang dikendalikan oleh geng-geng politik. Mereka ini menyebar diberbagai lini memantau Papua sebagai zona politik ala para broker. Kerja para broker tidak jauh dari memperdagangkan isu alias mengail ditengah air keruh.

Unjuk rasa atau polemik apapun tidak akan diselesaikan secara demokratis melalui saluran demokrasi yang tersedia karena kerja para geng lebih dominan dan dipercaya oleh pemerintah pusat. Sebagai contoh, Pansus Pemilukada DPR Papua yang ingin mengkonsultasikan SK MRP dengan Mendagri dan Menkopolhukam di Jakarta dipersulit oleh para geng sehingga pekerjaan yang mestinya bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari tidak tuntas dalam hampir satu bulan karena dipersulit oleh jaringan para geng dan broker politik.( Lihat Artikel ; Sampai Kapan Papua Diping-pong, Lamadi de Lamato, Binpa, 2010).

(*) Direktur La-Keda Institute, Papua. Konsultan Politik Isu-isu Lokal

0 komentar:

Template by : kendhin x-template.blogspot.com