Minggu, 08 Agustus 2010

Masa lampau Indonesia sangat kaya raya. Ini dibuktikan oleh informasi dari berbagai sumber kuno. Kali ini kami akan membahas kekayaan tiap pulau yang

Masa lampau Indonesia sangat kaya raya. Ini dibuktikan oleh informasi dari berbagai sumber kuno. Kali ini kami akan membahas kekayaan tiap pulau yang ada di Indonesia. Pulau-pulau itu akan kami sebutkan menjadi tujuh bagian besar yaitu Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda kecil, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua.

Sumatera - Pulau Emas
Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas.

Pada masa Dinasti ke-18 Fir'aun di Mesir (sekitar 1.567SM-1.339SM), di pesisir barat pulau sumatera telah ada pelabuhan yang ramai, dengan nama Barus. Barus (Lobu Tua - daerah Tapanuli) diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Barus dikenal karena merupakan tempat asal kapur barus. Ternyata kamper atau kapur barus digunakan sebagai salah satu bahan pengawet mummy Fir'aun Mesir kuno.

Di samping Barus, di Sumatera terdapat juga kerajaan kuno lainnya. Sebuah manuskrip Yahudi Purba menceritakan sumber bekalan emas untuk membina negara kota Kerajaan Nabi Sulaiman diambil dari sebuah kerajaan purba di Timur Jauh yang dinamakan Ophir. Kemungkinan Ophir berada di Sumatera Barat. Di Sumatera Barat terdapat gunung Ophir. Gunung Ophir (dikenal juga dengan nama G. Talamau) merupakan salah satu gunung tertinggi di Sumatera Barat, yang terdapat di daerah Pasaman. Kabarnya kawasan emas di Sumatera yang terbesar terdapat di Kerajaan Minangkabau. Menurut sumber kuno, dalam kerajaan itu terdapat pegunungan yang tinggi dan mengandung emas. Konon pusat Kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor dari sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir. Di Pulau Sumatera juga berdiri Kerajaan Srivijaya yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan besar pertama di Nusantara yang memiliki pengaruh hingga ke Thailand dan Kamboja di utara, hingga Maluku di timur.

Kini kekayaan mineral yang dikandung pulau Sumatera banyak ditambang. Banyak jenis mineral yang terdapat di Pulau Sumatera selain emas. Sumatera memiliki berbagai bahan tambang, seperti batu bara, emas, dan timah hitam. Bukan tidak mungkin sebenarnya bahan tambang seperti emas dan lain-lain banyak yang belum ditemukan di Pulau Sumatera. Beberapa orang yakin sebenarnya Pulau Sumatera banyak mengandung emas selain dari apa yang ditemukan sekarang. Jika itu benar maka Pulau Sumatera akan dikenal sebagai pulau emas kembali.

Jawa - Pulau Padi

Dahulu Pulau Jawa dikenal dengan nama JawaDwipa. JawaDwipa berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "Pulau Padi" dan disebut dalam epik Hindu Ramayana. Epik itu mengatakan "Jawadwipa, dihiasi tujuh kerajaan, Pulau Emas dan perak, kaya dengan tambang emas", sebagai salah satu bagian paling jauh di bumi. Ahli geografi Yunani, Ptolomeus juga menulis tentang adanya “negeri Emas” dan “negeri Perak” dan pulau-pulau, antara lain pulau “”Iabadiu” yang berarti “Pulau Padi”.
Ptolomeus menyebutkan di ujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Kota Perak itu kemungkinan besar adalah kerajaan Sunda kuno, Salakanagara yang terletak di barat Pulau Jawa. Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kota perak.

Di Pulau Jawa ini juga berdiri kerajaan besar Majapahit. Majapahit tercatat sebagai kerajaan terbesar di Nusantara yang berhasil menyatukan kepulauan Nusantara meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Dalam catatan Wang Ta-yuan, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan kunjungan biarawan Roma tahun 1321, Odorico da Pordenone, menyebutkan bahwa istana Raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.

Menurut banyak pakar, pulau tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman.
Raffles pengarang buku The History of Java merasa takjub pada kesuburan alam Jawa yang tiada tandingnya di belahan bumi mana pun. “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan,” demikian tulisnya, “bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini.”

Kini pulau Jawa memasok 53 persen dari kebutuhan pangan Indonesia. Pertanian padi banyak terdapat di Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan sebagai lumbung beras Indonesia. Jawa juga terkenal dengan kopinya yang disebut kopi Jawa. Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di Jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik dari kopi Amerika Latin ataupun Afrika.
Hasil pertanian pangan lainnya berupa sayur-sayuran dan buah-buahan juga benyak terdapat di Jawa, misalnya kacang tanah, kacang hijau, daun bawang, bawang merah, kentang, kubis, lobak, petsai, kacang panjang, wortel, buncis, bayam, ketimun, cabe, terong, labu siam, kacang merah, tomat, alpokat, jeruk, durian, duku, jambu biji, jambu air, jambu bol, nenas, mangga, pepaya, pisang, sawo, salak,apel, anggur serta rambutan. Bahkan di Jawa kini dicoba untuk ditanam gandum dan pohon kurma. Bukan tidak mungkin jika lahan di Pulau Jawa dipakai dan diolah secara maksimal untuk pertanian maka Pulau Jawa bisa sangat kaya hanya dari hasil pertanian.

Kepulauan Sunda kecil (Bali, NTB dan NTT) - Kepulauan Wisata

Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India. Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India. Sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.

Daerah Kepulauan Sunda kecil ini dikenal sebagai daerah wisata karena keindahan alamnya yang menakjubkan. Sejak dulu telah ada yang berwisata ke daerah ini. Perjalanan Rsi Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11. Pada tahun 1920 wisatawan dari Eropa mulai datang ke Bali. Bali di Eropa dikenal juga sebagai the Island of God.

Di Tempat lain di Kepulauan Sunda Kecil tepatnya di daerah Nusa Tenggara Barat dikenal dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau. Kuda Nusa tenggara sudah dikenal dunia sejak ratusan tahun silam. Abad 13 M Nusa Tenggara Barat telah mengirim kuda-kuda ke Pulau Jawa. Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai tempat pariwisata raja-raja. Raja-raja dari kerajaan Bali membangun Taman Narmada pada tahun 1727 M di daerah Pulau Lombok untuk melepas kepenatan sesaat dari rutinitas di kerajaan.

Daerah Sunda Kecil yang tidak kalah kayanya adalah Nusa Tenggara Timur, karena di daerah ini terdapat kayu cendana yang sangat berharga. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Cendana dari Nusa Tenggara Timur telah diperdagangkan sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Indonesia bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman memakai cendana untuk membuat tiang-tiang dalam bait Sulaiman, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman mengimpor kayu ini dari tempat-tempat yang jauh yang kemungkinan cendana tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur.

Kini Kepulauan Sunda kecil ini merupakan tempat pariwisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan pulau terindah di dunia. Lombok juga merupakan salah satu tempat terindah di dunia. Sementara itu di Nusa tenggara Timur terdapat Pulau yang dihuni binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup yaitu komodo. Kepulauan Sunda kecil merupakan tempat yang misterius dan sangat menawan. Kepulauan ini bisa mendapat banyak kekayaan para pelancong dari seluruh dunia jika dikelola secara maksimal.

Kalimantan - Pulau Lumbung energi

Dahulu nama pulau terbesar ketiga di dunia ini adalah Warunadwipa yang artinya Pulau Dewa Laut. Kalimantan dalam berita-berita China (T’ai p’ing huan yu chi) disebut dengan istilah Chin li p’i shih. Nusa Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam naskah-naskah Jawa Kuno. Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah (P'ulo Chung). Borneo adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda.

Pada zaman dulu pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamfer, lilin dan sarang burung walet melakukan barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi dalam masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu memasuki muara-muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan berhasil menemukan tambang emas dan intan di Pulau ini.

Di Kalimantan berdiri kerajaan Kutai. Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara. Nama Kutai sudah disebut-sebut sejak abad ke 4 (empat) pada berita-berita India secara tegas menyebutkan Kutai dengan nama “Quetaire” begitu pula dengan berita Cina pada abat ke 9 (sembilan) menyebut Kutai dengan sebutan “Kho They” yang berarti kerajaan besar. Dan pada abad 13 (tiga belas) dalam kesusastraan kuno Kitab Negara Kertagama yang disusun oleh Empu Prapanca ditulis dengan istilah “Tunjung Kute”. Peradaban Kutai masa lalu inilah yang menjadi tonggak awal zaman sejarah di Indonesia.

Kini Pulau Kalimantan merupakan salah satu lumbung sumberdaya alam di Indonesia memiliki beberapa sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai sumber energi, diantaranya adalah batubara, minyak, gas dan geothermal. Hutan Kalimantan mengandung gambut yang dapat digunakan sebagai sumber energi baik untuk pembangkit listrik maupun pemanas sebagai pengganti batu bara. Yang luar biasa ternyata Kalimantan memiliki banyak cadangan uranium yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Disamping itu Kalimantan juga memiliki potensi lain yakni sebagai penyedia sumber energi botani atau terbaharui. Sumber energi botani atau bioenergi ini adalah dari CPO sawit. Pulau Kalimantan memang sangat kaya.

Sulawesi - Pulau besi

Orang Arab menyebut Sulawesi dengan nama Sholibis. Orang Belanda menyebut pulau ini dengan nama Celebes. Pulau ini telah dihuni oleh manusia sejak 30.000 tahun yang lalu terbukti dengan adanya peninggalan purba di Pulau ini. Contohnya lokasi prasejarah zaman batu Lembah Besoa.

Nama Sulawesi konon berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’. Pulau Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil bessi (besi), sehingga tidaklah mengherankan Ussu dan sekitar danau Matana mengandung besi dan nikkel. Di sulawesi pernah berdiri Kerajaan Luwu yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Sulawesi. Wilayah Luwu merupakan penghasil besi. Bessi Luwu atau senjata Luwu (keris atau kawali) sangat terkenal akan keampuhannya, bukan saja di Sulawesi tetapi juga di luar Sulawesi. Dalam sejarah Majapahit, wilayah Luwu merupakan pembayar upeti kerajaan, selain dikenal sebagai pemasok utama besi ke Majapahit, Maluku dan lain-lain. Menurut catatan yang ada, sejak abad XIV Luwu telah dikenal sebagai tempat peleburan besi.

Di Pulau Sulawesi ini juga pernah berdiri Kerajaan Gowa Tallo yang pernah berada dipuncak kejayaan yang terpancar dari Sombaopu, ibukota Kerajaan Gowa ke timur sampai ke selat Dobo, ke utara sampai ke Sulu, ke barat sampai ke Kutai dan ke selatan melalui Sunda Kecil, diluar pulau Bali sampai ke Marege (bagian utara Australia). Ini menunjukkan kekuasaan yang luas meliputi lebih dari 2/3 wilayah Nusantara.

Selama zaman yang makmur akan perdagangan rempah-rempah pada abad 15 sampai 19, Sulawesi sebagai gerbang kepulauan Maluku, pulau yang kaya akan rempah-rempah. Kerajaan besar seperti Makasar dan Bone seperti yang disebutkan dalam sejarah Indonesia timur, telah memainkan peranan penting. Pada abad ke 14 Masehi, orang Sulawesi sudah bisa membuat perahu yang menjelajahi dunia. Perahu pinisi yang dibuat masyarakat Bugis pada waktu itu sudah bisa berlayar sampai ke Madagaskar di Afrika, suatu perjalanan mengarungi samudera yang memerlukan tekad yang besar dan keberanian luar biasa. Ini membuktikan bahwa suku Bugis memiliki kemampuan membuat perahu yang mengagumkan, dan memiliki semangat bahari yang tinggi. Pada saat yang sama Vasco da Gama baru memulai penjelajahan pertamanya pada tahun 1497 dalam upaya mencari rempah-rempah, dan menemukan benua-benua baru di timur, yang sebelumnya dirintis Marco Polo.

Sampai saat ini Sulawesi sangat kaya akan bahan tambang meliputi besi, tembaga, emas, perak, nikel, titanium, mangan semen, pasir besi/hitam, belerang, kaolin dan bahan galian C seperti pasir, batu, krikil dan trass. Jika saja dikelola dengan baik demi kemakmuran rakyat maka menjadi kayalah seluruh orang Sulawesi.

Maluku - Kepulauan rempah-rempah

Maluku memiliki nama asli "Jazirah al-Mulk" yang artinya kumpulan/semenanjung kerajaan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Maluku dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘the three golden from the east’ (tiga emas dari timur) yakni Ternate, Banda dan Ambon. Sebelum kedatangan Belanda, penulis dan tabib Portugis, Tome Pirez menulis buku ‘Summa Oriental’ yang telah melukiskan tentang Ternate, Ambon dan Banda sebagai ‘the spices island’.

Pada masa lalu wilayah Maluku dikenal sebagai penghasil rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Cengkeh adalah rempah-rempah purbakala yang telah dikenal dan digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Pohonnya sendiri merupakan tanaman asli kepulauan Maluku (Ternate dan Tidore), yang dahulu dikenal oleh para penjelajah sebagai Spice Islands.

Pada 4000 tahun lalu di kerajaan Mesir, Fir’aun dinasti ke-12, Sesoteris III. Lewat data arkeolog mengenai transaksi Mesir dalam mengimpor dupa, kayu eboni, kemenyan, gading, dari daratan misterius tempat “Punt” berasal. Meski dukungan arkeologis sangat kurang, negeri “Punt” dapat diidentifikasi setelah Giorgio Buccellati menemukan wadah yang berisi benda seperti cengkih di Efrat tengah. Pada masa 1.700 SM itu, cengkih hanya terdapat di kepulauan Maluku, Indonesia. Pada abad pertengahan (sekitar 1600 Masehi) cengkeh pernah menjadi salah satu rempah yang paling popular dan mahal di Eropa, melebihi harga emas.

Selain cengkeh, rempah-rempah asal Maluku adalah buah Pala. Buah Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditi perdagangan yang penting pada masa Romawi. Melihat mahalnya harga rempah-rempah waktu itu banyak orang Eropa kemudian mencari Kepulauan rempah-rempah ini. Sesungguhnya yang dicari Christoper Columbus ke arah barat adalah jalan menuju Kepulauan Maluku, ‘The Island of Spices’ (Pulau Rempah-rempah), meskipun pada akhirnya Ia justru menemukan benua baru bernama Amerika. Rempah-rempah adalah salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku.

Kini sebenarnya Maluku bisa kembali berjaya dengan hasil pertaniannya jika terus dikembangkan dengan baik. Maluku bisa kaya raya dengan hasil bumi dan lautnya.

Papua - Pulau surga

Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia. Pada sekitar Tahun 200 M , ahli Geography bernama Ptolamy menyebutnya dengan nama LABADIOS. Pada akhir tahun 500 M, pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kua memberi nama TUNGKI, dan pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama JANGGI. Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai PAPA-UA yang sudah berubah dalam sebutan menjadi PAPUA. Pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes memberi nama NUEVA GUINEE dan ada pelaut lain yang memberi nama ISLA DEL ORO yang artinya Pulau Emas. Robin Osborne dalam bukunya, Indonesias Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya (1985), menjuluki provinsi paling timur Indonesia ini sebagai surga yang hilang.

Tidak diketahui apakah pada peradaban kuno sebelum masehi di Papua telah terdapat kerajaan. Bisa jadi zaman dahulu telah terdapat peradaban maju di Papua. Pada sebuah konferensi tentang lampu jalan dan lalulintas tahun 1963 di Pretoria (Afrika Selatan), C.S. Downey mengemukakan tentang sebuah pemukiman terisolir di tengah hutan lebat Pegunungan Wilhelmina (Peg. Trikora) di Bagian Barat New Guinea (Papua) yang memiliki sistem penerangan maju. Para pedagang yang dengan susah payah berhasil menembus masuk ke pemukiman ini menceritakan kengeriannya pada cahaya penerangan yang sangat terang benderang dari beberapa bulan yang ada di atas tiang-tiang di sana. Bola-bola lampu tersebut tampak secara aneh bersinar setelah matahari mulai terbenam dan terus menyala sepanjang malam setiap hari. Kita tidak tahu akan kebenaran kisah ini tapi jika benar itu merupakan hal yang luar biasa dan harus terus diselidiki.

Papua telah dikenal akan kekayaan alamnya sejak dulu. Pada abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua. Dengan armadanya yang kuat Sriwijaya mengunjungi Maluku dan Papua untuk memperdagangkan rempah – rempah, wangi – wangian, mutiara dan bulu burung Cenderawasih. Pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore.

Tanah Papua sangat kaya. Tembaga dan Emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Papua juga disebut-sebut sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Papua merupakan surga keanekaragaman hayati yang tersisa di bumi saat ini. Pada tahun 2006 diberitakan suatu tim survei yang terdiri dari penjelajah Amerika, Indonesia dan Australia mengadakan peninjauan di sebagian daerah pegunungan Foja Propinsi Papua Indonesia. Di sana mereka menemukan suatu tempat ajaib yang mereka namakan "dunia yang hilang",dan "Taman Firdaus di bumi", dengan menyaksikan puluhan jenis burung, kupu-kupu, katak dan tumbuhan yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Jika dikelola dengan baik, orang Papua pun bisa lebih makmur dengan kekayan alam yang melimpah tersebut.
-**-

Demikianlah sedikit tulisan mengenai pulau-pulau di Indonesia yang sangat kaya. Dari tulisan tersebut sebenarnya Indonesia sudah dikenal sebagai bumi yang kaya sejak zaman peradaban kuno. Kita tidak tahu peradaban kuno apa yang sebenarnya telah ada di Kepulauan Nusantara ini. Bisa jadi telah ada peradaban kuno dan makmur di Indonesia ini yang tidak tercatat sejarah.
Ilmuwan Brazil Prof. Dr. Aryso Santos, menegaskan teori bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis. Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu.

Oppenheimer dalam buku “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, mengajukan bahwa Sundaland (Indonesia) adalah Taman Firdaus (Taman Eden). bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru di Sundaland. Indonesia memang merupakan lahan yang subur dan indah yang terletak di jalur cincin api (pacific ring of fire), yang ditandai keberadaan lebih dari 500 gunung berapi di Indonesia. Indonesia bisa saja disebut sebagai surga yang dikelilingi cincin api. Tapi terlepas dari benar atau tidaknya kita semua sepakat mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan hasil bumi, laut maupun budayanya.

Kebudayaan asli Indonesia sudah berumur ribuan tahun sebelum peradaban Mesir maupun Mesopotamia mulai menulis di atas batu. Peradaban bangsa Indonesia mungkin memang tidak dimulai dengan tradisi tulisan, akan tetapi tradisi lisan telah hidup dan mengakar dalam jiwa masyarakat kuno bangsa kita.
Alam Indonesia yang kaya-raya dan dirawat dengan baik oleh nenek moyang kita juga menjadi salah satu faktor yang membuat kepulauan nusantara menjadi sumber perhatian dunia. Indonesia merupakan negara yang terletak di khatulistiwa yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah di samping letaknya yang strategis secara geografis. Sumber daya alam tersebut mulai dari kekayaan laut, hutan, hingga barang tambang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kini mulai banyak ditemukan tambang baru di Indonesia. Orang Indonesia akan terkejut dengan kekayaan alam apa lagi yang akan muncul dari dalam bumi Indonesia ini.

Bumi yang kaya ini jika dikelola dengan baik akan membuat setiap rakyat Indonesia bisa memperoleh kemakmuran yang luar biasa sehingga bisa jadi suatu saat rakyat Indonesia sudah tidak perlu dikenakan pajak seperti saat ini, dan segala fasilitas bisa dinikmati dengan gratis berkat dari kekayaan alam yang melimpah yang dibagi kepada rakyat secara adil. Yang dibutuhkan Indonesia adalah penguasa baik, adil dan pandai yang amat mencintai rakyat dan menolak segala bentuk kebijakan yang menyulitkan masyarakat. Sudah saatnya Indonesia bangkit menuju kejayaannya. Jika hal itu terlaksana Indonesia bisa menjadi negara paling kaya di dunia.

Senin, 26 Juli 2010

Resep Aceh untuk Papua: Mungkinkah?

Ketika awal Juli lalu sekelompok orang Papua berdemonstrasi di beberapa kota dengan tujuan mengembalikan UU Otonomi Khusus Papua ke pemerintah pusat di Jakarta, orang segera teringat kejadian serupa lima tahun silam.

Tahun 2005 memang sudah pernah berlangsung demonstrasi serupa dengan peserta lebih banyak lagi, sekitar 10 ribu orang. Tapi tidak juga berlangsung dialog antara Jakarta d

engan Papua. Lalu bagaimana menangani masalah Papua? Bagaimana kalau menerapkan resep Aceh untuk Papua? SOURCE

Dengarkan/unduh saja laporan ini dengan mengklik ujung tanda panah berikut: http://content1a.omroep.nl/d9a7627d8b2c88caead64e900faa7e75/4c4e4886/rnw/smac/cms/id_resep_aceh_untuk_papua_20100726_44_1kHz.mp3

Pada protes awal Juli lalu, selain mengembalikan otonomi khusus Papua, sekelompok orang Papua ini turun ke jalan juga menuntut supaya dilakukan referendum bagi masa depan Papua. Apakah masih ikut NKRI seperti Aceh, atau cabut saja seperti Timor Leste. Benarkah itu yang diinginkan Papua? Menurut Muridan Widjojo, pakar Papua pada LIPI, orang Papua tahu bahwa Jakarta tidak akan memberi izin referendum.

Kekecewaan dan frustrasi

"Tahun 2010 ini yang menolak tidak hanya unsur masyarakat sipil non pemerintah, tapi juga lembaga negara seperti Majelis Rakyat Papua," demikian Muridan. MRP akhirnya memang menyalurkan suara masyarakat yang menolak otsus. Bahkan lembaga ini semakin terbuka menuntut referendum. Sebetulnya ini ekspresi kekecewaan, frustrasi yang semakin besar, lanjut Muridan. Sehingga referendum itu sebagai suatu aspirasi, sebetulnya merupakan tuntutan tertinggi yang bisa mereka lakukan. Meskipun mereka tahu Jakarta tidak akan memberi referendum. Minimal kalau diminta referendum, mereka akan menerima yang lebih rendah sedikit dari referendum, dengan harapan ada dialog antara Jakarta dengan Papua.

Rakyat Papua kecewa dengan Otonomi Khusus karena hal yang paling prinsip dan menjadi spirit UU ini tidak dihargai. Pertama, demikian Muridan Widjojo menjelaskan, pemekaran Irjabar tahun 2003 telah melangkahi MRP pasal 76. Kemudian pembentukan Majelis Rakyat Papua juga dicurigai, sampai baru terbentuk tahun 2005. Itu juga membuat pelaksanaan otonomi khusus terganggu sekali.

Ketiga, yang menjadi spirit otsus sendiri adalah simbol-simbol kepapuaan itu harus diharga dan dihormati, ternyata malah dilarang oleh PP 77/2007. Dan seluruh kebijakan Jakarta itu justru cenderung menghalangi implementasi otsus secara konsisten, sehingga mereka tidak melihat hal-hal yang menjadi isyu mendasar konflik Jakarta Papua itu ditangani di bawah UU Otsus. Jadi pada dasarnya UU Otsus hanya berikisar padsa soal anggaran trilyunan dan kemudian pemekaran. Sehingga orang tidak melihat sesuatu yang signifikan secara politik. Oleh karena itu orang melihat otsus gagal.

Curiga otsus
Kalau bagi Papua otonomi khusus itu sudah gagal, Jakarta sendiri sebenarnya juga tidak terlalu getol dengan UU ini. Operator politik Jakarta, kebanyakan di Kementerian Polhukam dan Kementerian Dalam Negeri, sejak awal sudah curiga terhadap UU ini. Mereka khawatir otonomi khusus akan memberi peluang kepada Organisasi Papua Merdeka, OPM. Di sini Muridan melihat bahwa aparat pemerintah pusat tidak ingin membuat UU Otsus Papua betul-betul jalan. Kalau Papua tidak suka otonomi khusus, dan Jakarta pun juga demikian, maka mengapa tidak dilangsungkan dialog antara keduanya?

Muridan Widjojo meringkas, ada kalangan Papua yang minta referendum, dan ada juga yang minta revisi otsus. "Ini kelompok moderat yang bilang ya sudah kalau begitu Otsus perlu direvisi kembali," jelas Muridan. Pertanyaannya adalah, siapa yang berhak merevisinya? Ini harus melalui dialog antara Jakarta dan Papua. Jadi akar masalah dibicarakan. Harus ada kesepakatan antara pemimpin Papua yang pro-kemerdekaan dan juga wakil dari Jakarta untuk duduk, kemudian menetapkan sebetulnya akar masalahnya apa, dan bagaimana menyelesaikannya. Sehingga diakui masalahnya.

Sekarang menurut Jakarta masalah Papua adalah kesejahteraan. Sedangkan orang Papua menyangkalnya. Bagi mereka masalahnya adalah sejarah kekerasan negara dan marginalisasi. Jadi, sebetulnya dialog itu baru bisa dilaksanakan kalau presiden menunjuk seseorang yang dipercaya untuk kemudian memulai proses-proses pembicaraan dengan pemimpin Papua. Kalau diharapkan proses normal yang seperti sekarang, pasti tidak akan terjadi apa-apa. Jakarta tidak punya rancangan apapun untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh. Mereka hanya mencoba mempertahankan status quo yang ada saja, dan bagi mereka otsus juga sudah final.

Lain Papua lain Aceh
Sebenarnya sudah ada pola yang bisa dipakai Jakarta untuk juga memberesi masalah Papua, itulah model Aceh. Apa halangan penerapan pola Aceh di Papua? Muridan Widjojo menyangkal pola penyelesaian Aceh bisa diterapkan di Papua. Di Aceh Jakarta bisa langsung bicara dengan Hasan di Tiro. Tapi Papua tidak punya seorang Hasan di Tiro. Dengan begitu cara kerja di Papua lain dengan di Aceh. Untuk Papua dibutuhkan konsultasi publik, para pemimpin setempat juga didekati. Faksi-faksi harus dipersatukan dan didahului dengan dialog internal di kalangan faksi-faksi Papua. Dari situ diharapkan bisa dihasilkan satu rujukan yang berarti pijakan sama tentang agenda politik, tentang apa yang harus dibicarakan.

Inipun harus dibuat secara tertutup, demikian tegas Muridan. Dengan begitu ketika presiden menunjuk seseorang dan siap untuk bicara dengan rakyat pimpinan rakyat Papua, maka orang Papua tahu betul siapa yang akan mewakili dan agenda apa yang akan dibawa. Itulah yang harus dipersiapkan terlebih dahulu, dan itu tidak ada di Papua. Aceh lebih siap, kepemimpinannya sudah siap. Aceh punya struktur kepemimpinan. Pimpinan bilang A, semua yang di bawah juga bilang A.

Terus berlanjut
Kalau Papua tidak bisa, demikian Muridan Widjojo. Di atas A, maka harus diskusi dulu apakah di bawah juga bisa A. Harus ada negosiasi dan diskusi yang menurut pakar Papua LIPI ini adalah proses-proses khusus yang membuat proses politik di Papua lebih lamban dan lebih lama. Walau begitu Muridan melihat tetap mungkin resep Aceh diterapkan di Papua. Semangatnya yang harus diambil, demikian Muridan. Tetapi dengan metoda pendekatan dan persiapan-persiapan yang relatif berbeda dan agak rumit.

Sementara itu, masalah Papua diperumit dengan terus berlanjutnya pelanggaran hak-hak asasi manusia. Selama ini terus terjadi dan selama dialog dengan pusat tidak ada, sulit untuk menemukan titk cerah bagi Papua.

Senin, 05 Juli 2010

Di Balik Unjuk Rasa Referendum

Massa membludak dengan membawa simbol ‘peti mati’ sebagai tanda Otsus yang baru berumur empat tahun saat itu telah dianggap gagal oleh ribuan unjuk rasa. Ibarat luka yang belum sembuh, kini masalah lima tahun silam kembali diperbincangkan lagi setela
Unjuk rasa ribuan massa yang membawa 11 rekomendasi hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP (Majelis Rakyat Papua) yang berlangsung dari tanggal 9-10 Juni 2010 ke kantor DPR Papua, tidak boleh dipandang remeh. Kendati massa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di klaim tidak sebesar jumlah unjuk rasa pengembalian Otsus tanggal 15 Agustus tahun 2005 yang – diperkirakan- mencapai 100 ribu massa.

Oleh : Lamadi de Lamato

Massa membludak dengan membawa simbol ‘peti mati’ sebagai tanda Otsus yang baru berumur empat tahun saat itu telah dianggap gagal oleh ribuan unjuk rasa. Ibarat luka yang belum sembuh, kini masalah lima tahun silam kembali diperbincangkan lagi setelah unjuk rasa dua ribuan massa meminta Otsus dikembalikan dan referendum melalui intervensi asing (PBB) baru-baru ini.

Unjuk rasa empat tahun yang silam dengan sekarang motifnya sama, mereka berharap aspirasinya yang disampaikan ke DPR Papua dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkompeten. Bila aspirasi yang dibawah ke DPR Papua pertama (2005) ‘dibelokan’, maka kita berharap sekarang justru harus disuarakan, apapun konsekwensinya.

Bila kita cermati dengan seksama, anggota legislatif periode kali ini (2009-2014) nampak jauh lebih peka dan bisa melanjutkan apa yang disuarakan publik. Hal itu terlihat dari respon DPR Papua terhadap rekomendasi SK MRP nomor 14 tahun 2009 – yang mensyaratkan calon kepala daerah dalam Pemilukada harus orang asli Papua.

Diluar persoalan SK ini dicurigai lalu di ditolak secara sepihak oleh pusat, tapi sebagian besar dari publik Papua semakin percaya bahwa aspirasinya tidak lagi mudah dibelokan seperti nasib unjuk rasa tahun 2005 silam. Kitapun harus salut dan memberi apreseasi pada para pendemo yang mampu menyalurkan aspirasinya (tuntutan referendum dan mengembalikan otsus diantara 11 rekomendasi Mubes) dengan damai tanpa chaos. Padahal jauh sebelum demo, moral orang asli Papua tengah diaduk-aduk dengan polemik SK MRP nomor 14.

Kalau dihitung-hitung hampir 5 bulan publik berdebat tentang SK tersebut, tapi suasana akumulatif yang diprediksi banyak pihak akan berakhir dengan chaos terhindar dengan ‘cantik’. Semua itu bisa jadi karena ditopang oleh budaya positif Papua (kasih, perdamaian dan penghormatan terhadap perbedaaan yang mengakar kuat). Catatan ini bukan memuji-muji secara berlebihan terhadap akar-akar budaya yang positif sebagaimana yang juga disinggung Francis Fukuyama bahwa budaya adalah faktor penting memahami kemajuan masyarakat – maksud Fukuyama yakni masyarakat dunia yang maju karena dipegaruhi oleh konsistensi budayanya yang kokoh sepanjang zaman. (Francis Fukuyama, Trust ; Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, Qalam, 1995).

Bila dikaitkan dengan demokrasi, budaya positif yang tergambar dalam demo tanpa kekerasan adalah demokrasi yang harus dihargai bertumbuh tanpa harus dilarang oleh siapapun. Kalaupun ada pihak-pihak yang kontra terhadap unjuk rasa, maka tetaplah kontra dalam koridor yang tepat, tanpa harus menebar teror dan ketakutan melalui berbagai isu ditengah-tengah masyarakat.

Isu bahwa unjuk rasa tanggal 18 Juni 2010 di skenario oleh oknum-oknum anggota DPR Papua tertentu, sehingga perlu dan harus di PAW (Pergantian Antar Waktu) termasuk kategori menebar teror politik yang tidak populer. Begitupun dengan mendeskredit MRP sebagai pembuat ulah dari ketidak becusan kerja mereka yang memanfaatkan akhir masa tugas jabatan – November 2010 – dalam memprovokasi masyarakat berdemo yang berujung pada tuntutan ekstrim (referendum dan kembalikan Otsus) diatas.

Tanpa kita menunjuk hidung, kita paham bahwa Papua adalah area politisasi yang dikendalikan oleh geng-geng politik. Mereka ini menyebar diberbagai lini memantau Papua sebagai zona politik ala para broker. Kerja para broker tidak jauh dari memperdagangkan isu alias mengail ditengah air keruh.

Unjuk rasa atau polemik apapun tidak akan diselesaikan secara demokratis melalui saluran demokrasi yang tersedia karena kerja para geng lebih dominan dan dipercaya oleh pemerintah pusat. Sebagai contoh, Pansus Pemilukada DPR Papua yang ingin mengkonsultasikan SK MRP dengan Mendagri dan Menkopolhukam di Jakarta dipersulit oleh para geng sehingga pekerjaan yang mestinya bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari tidak tuntas dalam hampir satu bulan karena dipersulit oleh jaringan para geng dan broker politik.( Lihat Artikel ; Sampai Kapan Papua Diping-pong, Lamadi de Lamato, Binpa, 2010).

(*) Direktur La-Keda Institute, Papua. Konsultan Politik Isu-isu Lokal

Template by : kendhin x-template.blogspot.com